Diskusi Penyusunan Background Study RPJMN 2020-2024 Isu Penataan Regulasi
Jakarta (06/09) – Diskusi ini merupakan kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka penyusunan Background Study RPJMN 2020-2024 oleh Direktorat Hukum dan Regulasi sebagai upaya untuk mendiseminasikan arah kebijakan dan strategi pembangunan bidang hukum, Diskusi ini mengundang narasumber Prof. Dr. I.B.R Supancana, S.H., M.H, Bapak Mardiharto Tjokrowaskito selaku Kasubdit Pencegahan Korupsi dan Penegakan Hukum yang memaparkan mengenai sasaran utama, sasaran antara, dan strategi, serta paparan mengenai arah kebijakan. Bapak Deputi POLHUKHANKAM menanyakan sudah banyak upaya untuk penataan regulasi baik dari RPJMN. Namun outcome yang dirasakan masih terbatas. Mungkin permasalahannya adalah pada staging measurable-nya. Sehingga harus jeli merumuskan strategi penataan regulasi yang dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Jika disepakati RIA sebagai tools, sejauh mana dimungkinkan ada pemetaan siapa yg blm pakai RIA di K/L. Produk regulasi yang tidak menggunakan RIA, maka patut ditengarai ada conflict of interest disana. Presiden harus secara langsung memimpin penataan regulasi, karena pointnya adalah pertarungan ego sektoral. Kepentingannya besar dan membuka peluang transaksi pasal. Sidang kabinet dapat dijadikan sarana untuk menentukan inisiasi regulasi oleh K/L bisa didorong pelaksanaannya atau tidak. Ini diharapkan dapat mendorong compliance K/L terhadap one gate system inisiasi regulasi. Pak Menteri memberikan perhatian khusus kepada Restorative Justice. Prof Supancana menjelaskan Terkait setting kelembagaan, Setkab tahun ini melakukan studi perihal kelembagaan dalam konteks Reformasi Regulasi. Pertemuan terakhir melibatkan Hamdan Zoelfa dan Margarito Kamis. Ada negara tertentu dimana regulatory oversight body berperan penting dalam reformasi regulasi, yakni Korsel melalui bulletin process. Namun terdapat negara yang menekankan pada regulatory advisory seperti Malaysia, melalui pelibatan private sector dalam penentuan arah regulasi. Untuk Indonesia, kebutuhannya lebih kepada regulatory oversight body. Kriterianya, institusi tersebut (baik existing/integrasi kelembagaan yang ada) harus langsung dibawah Presiden dan sehari-hari bekerja dengan Presiden. Kelembagaan tersebut harus netral dan bisa melaksanakan fungsi koordinasi, SDM memadai dari sisi kuantitas dan kapasitas, paradigma pembentukan regulasi oleh seluruh disiplin ilmu dan tidak hanya hukum. Perlu dikembangkan single management regulatory system, sehingga tidak semua K/L bisa membuat regulasi. Tools berbasis RIA (CBA, Public Consultation Mechanism, Simplifikasi Regulasi). Tools yang digunakan harus seragam, sehingga bisa dijadikan batu uji untuk justifikasi pembentukan regulasi oleh K/L. Di sisi lain, pembentukan regulasi tidak memperhatikan feasibility implementasinya. Di Singapore, walau UU telah disahkan, kekuatan mengikatnya baru mulai setelah ada assessment bahwa persiapan implementasinya sudah selesai. Ini berpengaruh pada compliance dan effectiveness regulasi tersebut