Diskusi Pelaksanaan Putusan Perceraian di Australia dan Indonesia
Jakarta (20/07) – Kementerian PPN/Bappenas berkolaborasi dengan Pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) menyelenggarakan "Diskusi Pertukaran Pengetahuan mengenai Pelaksanaan Putusan Perceraian di Australia dan Indonesia". Diskusi ini juga terlaksana atas kerja sama antara Mahkamah Agung RI dengan Federal Circuit and Family Court of Australian (FCFCOA) yang berlangsung sejak tahun 2004 dimana salah satu fokusnya adalah akses keadilan dan peningkatan pemenuhan hak perempuan dan anak.
Diskusi ini merupakan tindak lanjut kunjungan kerja yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kamar Agama dan Ditjen Badilag MA-RI didampingi oleh Direktorat Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas, KPPPA, dan BPHN ke FCFCOA pada 24-27 Oktober 2022 untuk mempelajari bagaimana kepentingan terbaik bagi anak diterapkan di Australia dan bagaimana Australia melakukan reformasi pembayaran nafkah anak dan istri dalam perkara perceraian serta peningkatan perlindungan hak anak melalui pembentukan Child Support Agency (CSA).
Diskusi dihadiri The Honourable Justice Riethmuller selaku hakim dari FCFCOA menjadi narasumber utama dalam diskusi serta YM. Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M, Ketua Kamar Agama dan Wakil Ketua Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI dan Dewo Broto Joko Putranto, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas untuk memberikan sambutan. Hadir sebagai peserta stakeholder terkait seperti Mahkamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dan Kementerian PANRB. Selain itu, diskusi ini dihadiri secara online oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia.
“Diskusi ini diselenggarakan sebagai forum pertukaran pengetahuan dan pengalaman Australia dan Indonesia mengenai inisiatif, tantangan, dan hambatan dalam meningkatkan pemenuhan hak perempuan dan anak dalam perkara perceraian. Hasil dari diskusi akan dijadikan sebagai pemetaan awal permasalahan eksekusi putusan perceraian di Indonesia dan diharapkan dengan stakeholder terkait dapat memberikan pengalaman yang sudah dilaksanakan serta langkah yang akan dilakukan kedepan.” pesan Dewo Broto Joko Putranto, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas saat sambutan.
Perbaikan mekanisme pelaksanaan eksekusi putusan perceraian menjadi salah satu isu yang sangat penting karena banyaknya perkara perceraian yang diajukan setiap tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat 516.344 kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2022 serta peningkatan tren jumlah angka perceraian dalam tiga tahun terakhir. Data BPS juga menunjukkan berbagai faktor yang menjadi alasan perceraian, dua faktor tertinggi di antaranya adalah perselisihan dan permasalahan ekonomi. Sementara itu, regulasi eksisting yang mengatur pelaksanaan eksekusi putusan perceraian masih terbatas pada subjek yang berstatus sebagai ASN dan belum meliputi sektor lain seperti BUMN dan swasta. Perlindungan dan pemenuhan hak terhadap perempuan dan anak korban perceraian yang mantan suami/orang tuanya tidak diketahui keberadaannya juga belum diatur dalam regulasi eksisting.
Australia telah melalui perjalanan panjang dalam perbaikan pelaksanaan putusan perceraian, terutama untuk kepentingan anak. Skema dukungan terhadap anak diperkenalkan sejak tahun 1988 sebagai akibat dari meningkatnya kemiskinan perempuan dan anak-anak, di mana pada tahun 1972-73 hingga 1985-86, proporsi anak-anak yang hidup dalam kemiskinan melonjak dari 7,2% menjadi 17,5%. Peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan rumah tangga orang tua tunggal, dari 9,2% pada tahun 1974 menjadi 14,4% pada tahun 1985 dan hanya 30% dari non-custodian parent yang melakukan pembayaran rutin untuk membantu mendukung anak-anak mereka. Saat ini, Australia memiliki organisasi yang mengurusi terkait tunjangan anak dan sudah berjalan sangat baik yang dilaksanakan oleh CSA.
Pada diskusi, The Honorable Justice Riethmuller menekankan keunikan tiap negara, dimana setiap bangsa memiliki budaya dan sistem hukum yang unik yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh masyarakat setempat. Dalam diskusi ini, beliau berbagai megnenai sistem di Australia dan ide-ide yang ada di baliknya. Beliau menyampaikan harapannya, “Saya berharap pengetahuan mengenai sistem Australia akan memberikan ide dan informasi untuk membantu diskusi dan pengembangan kebijakan tentang topik penting ini di Indonesia.” Beliau juga berharap untuk belajar lebih banyak tentang masyarakat Indonesia, norma budaya, sistem administrasi dan hukum, dan pengadilan.
Harapan tersebut nampaknya akan segera menemui titik terang, mengingat PTA Bengkulu telah mengembangkan aplikasi bernama “E-Mosi Caper”, sebuah aplikasi yang merupakan kerjasama antara PTA Bengkulu, Pemerintah Provinsi Bengkulu, dan Bank Bengkulu untuk mengakomodasi kewajiban mantan suami dan ayah (khusus ASN) dalam memberikan nafkah kepada mantan istri dan anak sesuai dengan amar putusan pengadilan. PTA Bengkulu berharap aplikasi tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah pusat agar dapat diterapkan ke seluruh pengadilan yang ada di Indonesia.